Search it here

Sabtu, 29 September 2012

Penggemar Air Mata!

Tangisan..
Hal yang sangat lumrah kita saksikan sehari-hari di bumi nusantara. Hal yang menjadi reaksi akhir dari segala hal yang menghiasi kehidupan. Baik itu haru, penderitaan, kesedihan, maupun kebahagiaan. Ketika anda berbahagia, dan luapan emosi melebihi batas yang bisa jiwa dan raga anda tampung, tetesan air mata kebahagiaan akan dengan sendirinya mengalir dari kedua mata indah anda.
Tangisan..
Menjadi tidak lumrah dan biasa jika itu terjadi di mata sosok manusia bernama pria. Sosok pria yang digambarkan sebagai manusia berpostur tegap, sorotan mata tajam, dan pendirian yang teguh akan terlihat rapuh ketika tetes demi tetes air mata mengalir melewati lekukan-lekukan keras di kedua pipinya menuju rahangnya yang senantiasa membentuk kata-kata ketegasan, ketabahan, dan kekuatan yang terucap dari bibirnya.

Tangisan..
Menjadi senjata utamaku untuk melepaskan kegundahan dalam hatiku. Melampiaskan kekesalankku akan jalur hidup yang telah salah kulalui. Menggantikan keperihan yang kurasakan. Rapuh? iya. Tapi saya tidak peduli. Selama hanya Allah dan malaikat-malaikatnya yang menyaksikan tetes-tetes air mata menyuci mata dan wajahku. Sudah tak terhitung berapa banyak sesi meneteskan air mata kulalui dalam 25 tahun masa hidupku. Namun ada beberapa sesi yang benar-benar kuukir dengan jelas di ingatanku yang semakin terkuras, di benakku yang semakin tak kuat menahan perihnya kehidupan, kejamnya masa kini, dan ketidakpastian masa depan.

Tangisan haru, yang harus kutahan di depan banyak orang asing di dalam dek sebuah kapal cepat jurusan Raha-Kendari 6 tahun lalu menjadi tangisan penuh makna yang sampai saat ini kuingat dengan jelas. Ku ingat dengan jelas kebanggaan yang tersirat di raut wajah ayahku yang terlihat begitu tak tersentuhnya, ayahku yang begitu berwibawa, ayahku yang begitu berkharisma di mata kami anak-anaknya ketika melepasku untuk pergi jauh menempuh ilmu di Yogyakarta. Melihat anak laki-laki ke dua dalam keluarga pergi jauh untuk menuntut ilmu dan meninggalkan mereka di pulau nun jauh di sana. Melihat anak yang satu-satunya  berani menyeberang ke pulau Jawa yang jelas memiliki budaya yang bertolak belakang dengan tempat asal kami. Tangisku pecah saat itu, tak kuat raga mudaku melawannya. Tak kuat mental mudaku yang untuk pertama kali pergi jauh, benar-benar jauh dari orang tuaku menahannya. Tangisan itu berhasil menembus pertahananku yang rapuh, yang belum siap mengarungi kejamnya hidup sendirian di tempat yang jauh dari jangkauan orang-orang terkasih. Tapi, aku harus tetap menahan suaranya agar tidak mengganggu perjalanan orang lain. Mataku masih sembab meskipun hari telah berganti, hasil dari tangisan itu. Miss You Daddy!!
Sejak saat itu, aku berjanji untuk tidak mudah meneteskan air mata untuk hal-hal remeh temeh kehidupan yang  berupaya dengan keras dan kontinu menggerus semangatku. Hingga akhirnya, aku harus menjilat ludahku sendiri. Aku kembali menangis. Tetesan air mataku menjadi tak terbendung. Tanggul mental yang kubangun rupanya rapuh, tak berfondasi yang kuat, sehingga harus mau dilewati oleh tetesan air mata yang menjadi akrab denganku akhir-akhir ini.

Tangisan yang selanjutnya masih kuingat adalah, tangisan kebahagiaan atau ntah apalah namanya. Sebenarnya sedikit malu untuk mengakui hal ini. Sebab tangisan ini berkaitan dengan seorang  teman baru, yang benar-benar baru, datang dengan tak terduga, hingga benar-benar nyetel di hatiku dan pola perilakuku.  Tidak jelas apa yang membuatku harus menangisi sosok laki-laki bongsor, berkulit hitam dan ber-brewok ini :D. Tapi jelas, saat ini dialah sosok teman, sahabat bahkan mungkin saudara sebagaimana yang pernah dikatakannya, yang mampu memberikan petuah-petuah bijak yang kadang sangat kritis dan menohok di hati, tapi itu semua benar adanya. Tangisan itu juga terbentuk saat perpisahan terjadi, dimana saudaraku itu  harus kembali ke kota di mana dia berkuliah setelah menghabiskan masa liburannya di Yogyakarta beberapa hari. 

Awalnya, gengsiku cukup besar untuk menangisinya di saat kumengantarkannya ke stasiun tugu yogyakarta untuk bertolak ke jakarta. Tapi ketika akhirnya kuputuskan untuk meng-SMS tangisanku mulai tak terbendung. Memang, saat itu ketegaran masih mengambil alih emosiku, selain rasa malu tentunya, mengingat aku mengantarkannya bersama seorang teman perempuan dan sampai SMS berlayangan di udarapun, teman perempuanku itu masih bersamaku menghabiskan makan malam di burjo langganan dekat kosku. Namun, akhirnya ketika aku kembali ke kamar kosku yang entah mengapa mendadak terasa sepi, hampa dan terlalu luas untukku, air mata haru akhirnya menetes membasahi pipiku malam itu. 

Kerinduan akan sosok saudara laki-laki yang mau dan bisa mengayomiku, mengajarkan hal-hal baru dan benar kepadakulah mungkin yang menjadi penyebab  tangisanku malam itu terjadi. Sosok orang baru yang kukenal beberapa hari ini, mampu mengisi kekosongan itu. Jelas.  Sangat nyata, segalanya terasa hampa saat harus jauh dari saudaraku itu. Namun, Alhamdulillah tangisanku malam itu berhasil menyadarkanku akan betapa berharganya seorang sahabat, saudara. Dan sampai saat ini, hubungan persaudaraan itu masih terjalin baik dengannya, bahkan beberapa hari yang lalu aku baru saja mengunjunginya di Jakarta karena kebetulan memang aku harus ke sana untuk mengejar cita-cita masa depanku. Miss you brotha!

Begitulah tangisan menjadi solusi akan permasalahan yang kurasakan, begitulah tangisan mengisi kekosongan hatiku, begitulah tangisan menjadi luapan betapa bahagianya dan bersyukurnya diriku masih dikaruniai sosok orang-orang yang ternyata menyayangiku meskipun mereka malu untuk mengakuinya. Dan saat ini aku menjadi penggemar air mata. Alhamdulillah....


Menangislah bila harus menangis
Karena kita semua manusia
Manusia bisa terluka, manusia pasti menangis
Dan manusia pun bisa mengambil hikmah
Dibalik segala duka tersimpan hikmah
Yg bisa kita petik pelajaran
Dibalik segala suka tersimpan hikmah
Yg kan mungkin bisa jadi cobaan
(DEWA-- Air Mata)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar