Search it here

Rabu, 26 Februari 2014

Lupa Rasanya menjadi nomor 1!

Nomor 1.
Semua orang ingin menjadi nomor satu, dalam berbagai hal, dalam berbagai keadaan dan dalam berbagai kondisi. Nomor satu yang biasanya identik dengan urutan tertinggi dari hasil suatu perlombaan menjadi angka yang sangat dielu-elukan. Berbagai upaya akan dilakukan untuk meraih nomor ini. Latihan yang kontinu, persiapan trik dan tips pencapaiannya bahkan sampai kepada trik-trik "kotor" untuk mencapainya.

Nomor satu, banyak orang yang rela kehilangan waktu, tenaga dan sumber daya untuk mencapainya. Lihatlah pada berbagai perlombaan, balap mobil misalnya, semua pabrikan akan merelakan dana besar-besaran untuk merekrut pembalap yang dianggap mampu merepresentasikan pabrikan dalam meraih nomor satu dalam balapan. Ajang pencarian bakat? apalagi. Tak jarang pesertanya rela kehidupan pribadinya diekspos untuk meraih polling tertinggi sehingga tujuan untuk memenangkan lomba semakin terbuka.

Aku, yang dilahirkan pada urutan ke-7 dalam silsilah keluargaku sudah sadar bahwa posisiku bukanlah nomor 1, setidaknya dalam daftar kartu keluarga. Namun, Allah memang selalu adil kepada semua umat-Nya, walau kadangkala sesekali aku masih saja mempertanyakan keadilan tersebut. Aku diberkasih kecerdasan anak rata-rata sehingga selalu bisa menyerap ilmu pengetahuan yang disampaikan para pendidiku lebih cepat dari teman-teman kelasku. Dan nomor 1 menjadi langgananku sejak kelas 1 Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas. Pun begitu dengan lomba-lomba yang kuikuti dalam rangka mewakili sekolahku baik dikancah regional maupun propinsi. Gelar pembicara terbaik pada debat bahasa inggris, juara pidato,juara paduan suara, juara marawis, juara bola voli, dan juara kelas tentunya.

Rasanya menjadi nomor satu sangatlah luar biasa. Dielu-elukan teman-teman, menjadi kebanggan orang tua, keluarga, guru dan almamater.

Namun, saat ini, di usiaku yang menginjak angka 27, aku mulai lupa bagaimana rasanya menjadi nomor 1. Dalam karir pekerjaanku aku bukanlah siapa-siapa saat ini, jangan nomor 1, nomor 2 pun bahkan sangat mustahil untuk kuraih. Dipercintaan? apalagi.

Punya pasangan rasanya memang indah, ada sosok yang bisa dijadikan sandaran minimal untuk bersenang-senang. Namun, saat diri kita bukanlah prioritas rasanya menjadi rancu. Saat teman-teman dan pekerjaan menjadi hal yang menduduki posisi nomor 1 dipikiran pasangan kita maka rasanya tak terbayangkan. Kecewa? tentu. Tapi itulah resiko hidup kawan.

Saat ini, tujuanku tak lagi menjadi nomor 1 dalam berbagai hal, baik pekerjaan, pertemanan, maupun percintaan. Melainkan melakukan hal-hal yang dilakukan orang-orang nomor satu untuk membahagiakan orang-orang yang sangat layak untuk kita nomor satukan.

"Seseorang kadang tidak mensyukuri keadaannya sekarang karena dia melihat apa yang dia inginkan Bukan melihat apa yang dia dapatkan...."